Lanjutkan Sejati

Deru angan sendi tulang
Ajaklah keping-keping bayang
Selipkan dalam warta untai manikam
Ulurkan keheningan tempa geram.

Untuk itu kita beriring
Untuk itu kita mengisi
Untuk itu kita datangi
Untuk itu kita berjanji

Pegang apa arti jalan
Lurus mendekap kenikmatan
Rengguh panjang tangan
Lilit genangi pintu pesan.

Denya

Dan, ketika yang terlahir harus pulang
Jalan di antara tepi haluan
Batu berserakan terampil pedang
Air, ya, air mata heran
Di tikam menanti waktu
Sepertiga do’a hilang nafas
Alang-alang, kemana menutup
Rintih anak, di sela ganas, di sela beringas
Detik terakhir di awal hari
Warta kembang di sela jingga.

-lelaki dan rembulan dini hari-

Oh,….

Hyang Jagad Dewa Bathara.

Bumi bergetar, langit sontak binar

Lelaki dan sebatang kail, samadi.

Sibuk air gemericik,

Awan suci bergerak pelan.

 

– Baruna, tambaklah!

  Duri-duri dalam daging berenanglah.

  Mendekat.

 

Angin dalam-dalam merayap

Penjaga surga turun bersayap

Kain-kain lenyap

Di ujung dahan hinggap.

 

Alangkah elok warna saloka

Lelaki Tarub berjalan mengendap

Ramai canda tak hirau mara

Surga mengintip derap.

 

+ Takkah kita rupa cantik?

 

Demi tujuh bidadari

Mereka tanda cahaya murni.

Eka bestari sap warna kumawani

Pergilah kau tak berbanding cantik.

 

Dalam rontal tanpa tanding

Jalan nasib jalan hening.

 

– Oh, irama alam.

  Mata ini atau batin berbicara?

  Kail tanda hidupku, bergeraklah!

 

Dan waktu terhenti kekangnya

Lambat penuh cerita bergerak.

Hutan-hutan lirik lelaki

Bersama kail diangkat kain.

 

Mereka tak ubah peka

Bergemingkah dewata?

Tidak, tidak, tidak…

Harajendra sudah terlelap dalam khayalan.

Warta tetaplah menjadi goresan

Dalam dekap rimba ia terjerembab.

 

Sangkalah ia sebuah karma

Berpegang segera dan pulang.

 

– Untuk apa Lelaki Tarub

  Manusia penuh jalan.

 

Kain terbang dalam tangan

Gelap turun kencang.

 

 

  Bersatulah

+ Berlututlah

  Untuk cinta

+ Orok

 

Desir angin menerabas jantung

Lalu untuk apakah pena?

Abadilah kama dalam nafas

Bergumpal tanah darah satu.

Teriakkan menghempas ribuan angin

Warta baru terbit.

 

+ Bodoh, semata

   Ayunda tak kunjung hadir.

   Tertahan dalam balas nasib.

 

Periuk keci tertata

Nasib kecil berusaha

Waktu yang berbentang

Tak panggil ia datang.

 

+ Helai kain, inikah sayap?

 

Hey, Lelaki Tarub pandanglah!

Luka-luka yang bergegas pulang

 

Nir pada cerita.

Lelaki dan bulan sabit muncul kerinduan.

Dalam hitungan mega-mega pahit

Kesedihan dirangkum dalam bejana.

 

+ Rajutlah kesenanganmu

  Puan

+ Timang dan ajarilah moral

  Untuk inikah perpisahan

+ Bukan

  Tinggal dan berikah kain

+ Tidak karena cinta

  Pergilah

 

Hujan eluh di mata orok.

Dosakah ia karena tidak tahu?

Terlalu inginkah ini?

 

+ Lingkar waktu bukan miliknya

  Tetapi, ini

+ Masih putih?

  Adakah symbol kekuatan alam.

   Adakah cinta karena….

+ Ke-a-da-an.

   Yach, keadaan.

   Di mana dosa menjadi pemanis

   Utara menjadi selatan

   Setengah lusin kembarku pergi

   Aku…

– Cukup,…

  Demi cipta kita kumohon

  Lepaskan lagi kainmu

 

 

Dewa bijak turun, bumi bergetar

Tak ada kala mengikatnya.

Hhrr…dahh, plekencong-plekencong,

Bulan sabit di telan.

Sinar tak lagi ada, kosong.

 

+ Bulan

 

Selaksa telaga, eluh bulan mengalir

Orok dan lelaki terjerat kerinduan

Setinggi awan bumi bersaksi.

 

  Bawahlah ia ke ujung tanah

   Bernyanyilah

   Ajarilah ia menengadah

   Tunjukan langit adalah kabarnya

   Bulan adalah tempatnya mengeluh

 

Dua pasang tombak

Dewa lebih cepat bergegas.

 

  Aku akan berdosa

   Untuknya

 

Angin berhembus lembut

Tangan orok mengepal

Dalam dekapan lelaki dan bulan sabit.

Perih suasana, perih keinginan.

-mayasari-

Perempuan bersinar mata jernih

Embun pagi langkah kaki menyingkir

Perempuan mata hati tertarik

Melangkah perawan ia sejati.

 

Jingga matahari di ufuk

Perempuan wangi dalam rindu

Sirna kabut datang nurani

Surga berbisik:

 

“Setangkai bulan berbelah tujuh

Mawar terbendung terisak sentuh

Capung merah bersayap satu

Hinggap dilalap waktu.”

 

 

Seperti bintang di harap nelayan

Laut dan kayuh tekad membara.

Seperti rentang kala pujian

Demi puan bersanding asmara.

 

Hutan dan rimba bertekuk jenuh

Daun lebat kuat jatuh.

Selaksa batin asmara penuh

Di tangan puan berjanji utuh.

 

Luka darah dalam bendung

Berputar-putar di atas mendung.

Wahai gadis cantik bertudung

Sudikah puan hadirkan kidung.

 

 

 

-lontar asmara-

Langkahku letih mencipta angan.

Surga tercipta agar bersatu kita akan keindahan.

Derai takdir tali rajut.

Bentang kalam tak bergairah.

Tersulut bara hidupku hanyut gemuruh.

 

Dipeluk nista tanah ini. Untai keladi siapa biang? Nimas.

 

Darah yang tak tertanam dalam-dalam.

Hinggaplah muara bening asmara.

Sentuhlah bibir waktu dengan cahaya.

Tebarkan dini rasa mengganti akar bahana.

 

Lelahkah ia kala dirampas pelita padam.

Alam bergolak di sela rintik pikir.

Tanpa tudung sang penghuni saloka.

Rongga api bara gelentar mayapada atas langkah diniwan.

Lelah ketika hanya biduk berubah arah.

 

Ketika hujan berhenti dalam dawai sang bidadari.

Lontar sukma tanpa kekasih. Coba terlelap, hati kalut.

Coba terbang jiwa hanyut. Warna gelap kini.

Kala yang hadirkan jiwa untuk mencinta.

Hati ini adalah hadiah untukmu.

Kenangan yang meretaskan keindahan.

Keabadian terwujud di samping jiwamu.